Friday, June 8, 2007

LIPUTAN

TAK LEKANG DITELAN ZAMAN
SAUNG ANGKLUNG UDJO TETAP BERTAHAN
Laporan Endah N.J

CUACA siang itu, Kamis, 17 Mei 2007, tak terlalu panas. Namun, sedikit mendung menyelimuti awan di langit. Saya berjalan melalui jalanan macet dan bau asap knalpot menuju Saung Angklung Udjo di kawasan Padasuka Bandung.

Saung ini merupakan tempat fenomenal yang banyak dikunjungi orang, dari dalam dan luar negeri. Di sinilah sentral pembuatan dan pengembangan alat musik khas suku sunda, yakni angklung.

Saung Angklung Udjo terletak di Jln. Padasuka No. 118 Bandung ini. Tempat ini memiliki sejarah yang cukup panjang hingga mencapai kemajuan dan popularitas seperti sekarang. Pendirinya, almarhum Mang Udjo, mungkin tak pernah membayangkan saungnya akan menjadi megah dan fenomenal.

Tahun 1966, Mang Udjo hanya berniat mengenalkan kesenian, terutama angklung, kepada keluarganya. Namun ternyata masyarakat sekitar pun banyak yang tertarik dengan angklung hingga akhirnya mereka belajar memainkannya. Terbentuklah suatu padepokan. Baru tahun 1967 rombongan turis Belanda yang dibawa sebuah travel datang melihat pertunjukkan angklung di sana. Pengunjung pun kian bertambah dan akhirnya pertunjukan dilakukan rutin setiap hari, pukul 15.30- 17.30 WIB .

Bersama istri dan 10 putra-putrinya, Mang Udjo terus mengembangan kegiatannya. Pembinaan dilakukan pada masyarakat sekitar agar mahir memainkan dan membuat angklung sendiri. Uniknya, Mang Udjo mengajarkan angklung, terutama kepada anak-anak, di sela-sela waktu bermainnya. Jadi anak-anak bermain sambil diarahkan belajar angklung.

Metode demikian terus dipertahankan sampai sekarang. Maka tak heran, jika ada bayi dibawah umur tiga tahun (Batita) yang sudah mahir bermain angklung. Misalnya, seorang anak bernama Rizki. Ia baru berumur dua tahun, namun sudah pandai memainkan angklung sambil berlenggak-lenggok di depan para penonton. Ada juga Asep, anak kelas 2 SMP yang baru tiga hari belajar angklung, namun sudah mahir memainkannya.

Ketika padepokan ini dikelola secara profesional tahun 1922, pengunjungnya kian membludak saja. Bahkan pada awal perkembangannya tahun 1998, pengunjung lokal yang datang hanya sekitar 6% dan sisanya para turis asing. Setelah dilakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan pameran-pameran, pengunjung lokal yang datang meningkat menjadi 60%.

Para turis asing yang datang umumnya ingin mengetahui tentang Indonesia. “I just wanna know about Indonesia (saya hanya ingin tahu tentang Indonesia, Pen.)” Kata Meenen, salah satu pengunjung dari Holland.

Para pengunjung memang perlu merogoh kocek lebih banyak untuk membeli tiket masuk seharga Rp 50.000. Namun jangan khawatir karena performance anak-anak bangsa ini tidak mengecewakan. Pengemasannya yang unik dan menarik membuat penonton terhanyut dan berdecak kagum.

Cetak Generasi Pelestari
Angklung yang merupakan alat musik tradisional suku sunda memang sudah dikenal masyarakat banyak. Namun, bagaimana cara memainkannya orang tidak banyak tahu.

Di Saung Angklung Udjo, kita diajari bagaimana bermain angklung dengan mudah dan asyik. Cara inilah yang digunakan Saung Angklung Udjo dalam mengenalkan dan melestarikan kebudayaan sunda kepada masyarakat, terutama anak-anak. Dengan begitu, masyarakat pun akan lebih menghargai kebudayaan daerah mereka.

Selain diajari main angklung, pengunjung yang datang bisa membuat angklung sendiri. Angklung yang mereka buat kemudian bisa mereka mainkan pada waktu pertunjukkan. Dari sini kita bisa lihat, Saung Mang Udjo betul-betul mencetak generasi yang dapat melestarikan budaya bangsa. Tidak hanya itu, nilai kebersamaan yang ditimbulkan ketika main angklung bersama turut menjadi poin penting dalam pertunjukkan ini.

Meskipun namanya saung angklung, namun pertunjukkan yang dilakukan tidak hanya memainkan angklung. Pada awal pertunjukan, kita disuguhi demonstrasi wayang golek selama beberapa menit yang memperagakan bagaimana wayang menari, berbicara, dan berkelahi.

Setelah itu, ada demonstrasi hiburan bagi anak laki-laki yang hendak dikhitan. Ini dimaksudkan untuk memberikan kegembiraan pada sang anak. Anak-anak menari dengan lagu-lagu Sunda lama, diiringi angklung tradisional beralaskan Salendro.

Selain disuguhi pertunjukkan tradisional Sunda, penonton juga bisa menikmati alunan rumpun bambu (Arumba) yang dimainkan dalam format band.

Tari topeng pun menjadi sajian menarik dalam pertunjukkan ini. Tarian ini merupakan cuplikan dari pola-pola tarian klasik Topeng Kandaga yang dibagi dua babak. Babak pertama menari tanpa topeng. Babak ini mengisahkan Layang Kumintir, pembawa berita untuk Ratu Kencana Ungu dari Majapahit yang sedang menyelidiki keadaan di Kerajaan Blambangan. Babak kedua menari pakai topeng. Babak ini menceritakan Layang Kumintir menyamar menjadi laki-laki gagah perkasa untuk melawan Raja Menak Djinggo dan Blambangan.

Setelah puas menonton pertunjukkan, penonton diajari main angklung bersama dengan membawakan lagu-lagu daerah seperti Bungo Jempa dan lagu-lagu populer masa kini seperti Nidji, Ungu, dan masih banyak lagi.

Pada akhir acara, penonton diajak bergembira dan menari bersama di teras pertunjukan sambil bermain oray-orayan dan paciwit-ciwit lutung. Sungguh permainan yang luar biasa! Pertunjukan yang tidak akan disesali siapa pun yang menontonnya.*

NOTE!
1. Great! What An Excellent Reporting! Naskah Anda sudah bagus, sudah jadi, hanya butuh sedikit editing redaksional.
2. Anda harus lebih jeli pada penggunaan kata, kalimat, dan tanda baca. Bandingkan naskah asli dengan yang sudah diedit.
3. Beberapa kesalahan fatal menyangkut penggunaan dan penulisan kata, misalnya:
- Saya berjalan melalui jalanan macet dan bau asap knalpot sepanjang perjalanan. Kalimat ini rancu.
- banyak dikunjungi semua orang. Kata “semua” tidak perlu, jadi rancu tuh dengan kata “banyak”. Baiknya: “banyak dikunjungi orang”.
- Saung ini merupakan tempat fenomenal yang banyak dikunjungi orang, baik dari pengunjung dalam negeri maupun pengunjung luar negeri. Singkat saja menjadi: “...banyak dikunjungi orang dari dalam dan luar negeri:”.
- tidak hanya memainkan angklung saja. Berlebihan, sebaiknya “tidak hanya memainkan angkulng” atau “tidak memainkan angklung saja”. Pilih satu, “hanya” atau saya, eh... “saja”.
- di suguhi. Penulisan “di” yang diikuti kata kerja disatukan: “disuguhi”. Kalo “di” diikuti kata tempat, baru dipisah: “di saung ini”.
4. Sekali lagi, great! Keep writing! (Romel).*

Naskah-naskah di blog ini milik Balai Jurnalistik ICMI Jabar (BATIC). Boleh dikutip untuk kepentingan pendidikan dan aktivitas nonkomersial dengan mencantumkan nama penulisnya dan sumber http://baticnews.blogspot.com.

No comments: