Friday, June 15, 2007

Liputan: Museum Sribaduga

MUSEUM SRIBAGUDA BANDUNG
TENGGELAM DI TENGAH KERAMAIAN

Liputan Nda Imoet

SIANG itu, Selasa (5/6), saya bergegas menuju sebuah museum di Jln. BKR No. 185 Bandung. Museum itu tak lain adalah Museum Sribaduga. Sebuah wadah pelestari seni dan budaya masyarakat Jawa Barat (Jabar).

Museum Sribaduga didirikan 5 Juli 1980 sebagai museum negeri Provinsi Jabar. Awalnya, museum ini bernama Museum Negeri Propinsi Jawa Barat. Baru tahun 1990 resmi bernama Sribaduga

Nama Sribaduga sendiri diambil dari gelar Raja Padjajaran yang memerintah tahun 1417-1513 M, yaitu Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran. Nama ini diambil karena Sribaduga adalah sosok yang misterius. Konon, dia bisa menghilang dan sampai sekarang masih membuat orang penasaran. Cerita mengenai Sribaduga tertulis dalam prasasti batu tulis Bogor.

Koleksi barang di museum ini cukup banyak. Semuanya berjumlah enam ribu koleksi yang terbagi dalam 10 klasifikasi, di antaranya geologika, biologika, etnografi, arkeologika, historika, numistika/heraldika, filologika, keramologika, seni rupa, dan teknologika. Supaya pengunjung tidak merasa bosan, semua koleksi tersebut hanya 30% yang dipamerkan dan diganti setiap lima tahun sekali. Sisanya disimpan di gudang.

Setiap pengunjung akan memperoleh panduan dari seorang guide. Mulanya, kita akan diajak ke ruang auditorium, lalu ke tempat pameran tetap yang memang rutin dibuka setiap hari. Di sana kita bisa melihat beragam koleksi museum yang dipamerkan.

Dibandingkan dengan Museum Geologi yang notabene museum tertua di Asia Tenggara, Museum Sribaduga memang kalah pamor. Hal itu terlihat dari kurangnya pengunjung yang datang baik dari dalam maupun luar negeri.

Ada beberapa kendala yang menyebabkan hal itu terjadi. Walaupun letaknya di daerah perkotaan, namun akses jalan sulit dijangkau. Ramainya pedagang kaki lima yang berdagang di sekitar lokasi membuat museum ini sedikit tertutupi. Saya pun harus sedikit jeli ketika mencari letak museum ini.

Pemerintah juga rupanya kurang memperhatikan keberadaan museum ini. Dana yang dianggarkan untuk keperluan museum sangat minim. Maka tak heran kalau orang tidak banyak tahu keberadaan museum ini karena skurangnya sosialisasi kepada masyarakat.

Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah museum membuat museum ini sepi pengunjung. Masyarakat kita lebih memilih pergi ke mall daripada ke tempat-tempat bersejarah. Anak-anak sekolah pun datang ke sini karena ada tugas sekolah.

Banyak sekali agenda yang harus dilakukan pemerintah untuk membuat museum ini ramai pengunjung. Selain harus mempromosikan museum ini ke daerah-daerah, pemerintah juga harus megajarkan masyarakat kita faham aksara Sunda (huruf Sunda) karena nama Sribaduga ditulis menggunakan huruf Sunda.

Museum Sribaduga mungkin hanya berisi benda-benda mati yang akan makin lapuk dimakan usia. Namun sejarahnya akan terus hidup sepanjang zaman jika manusianya sendiri mau untuk menghidupkannya. Dengan menyadari akan pentingnya sebuah museum, Sribaduga mungkin tidak akan tenggelam di tengah keramaian. (Penulis, Anggota BATIC).*

NOTE!
1. Bandingkan naskah di atas dengan naskah asli. Banyak editing kata-kata yang tidak perlu (mubazir).
2. Lebih cermat dalam memilih kata dan menyusun kalimat. Di naskah asli ada kalimat “yang cukup ternama, namun tak banyak dikenal orang”. Kumaha ieu teh, katanya cukup ternama, tapi tak banyak dikenal orang?
3. Juga ada kalimat “koleksi barang-barang”. Edit jadi “koleksi barang”. Kata “koleksi” sudah menujukkan jumlah lebih dari satu.
4. Setiap pengunjung yang datang. Kalimat “yang datang” buang. ‘Kan pengunjung itu artinya orang yang datang/berkunjung, ok?
5. Great! Keep writing! (Romel).*

No comments: