Wednesday, May 23, 2007

Uji Nyali

Oleh Syarief Hidayat

SEBUAH pesta selalu menyisakan cerita. Resepsi pernikahan Ceu Eti, tetangga sebelah rumah, jadi bahan cerita sekampung, cuma gara-gara makanannya keburu habis, padahal tamu yang datang masih banyak. Menurut salah seorang panitia, makanan yang disediakan untuk sekitar 500 undangan. Omongan tetangga tidak dihiraukan oleh Ceu Eti dan panitia yang terlibat didalamnya. Toh omongan mereka lama-lama berhenti sendiri karena bosan dan Ceu Eti tidak perlu mempertanggungjawabkannya.

Demikian pula pesta demokrasi. Namun KPU sebagai penyelenggara Pemilu, apakah harus bersikap sama dengan Ceu Eti, tidak menghiraukan omongan orang tentang "kekacauan" dalam Pemilu lalu?

Konon, anggota KPU bergaji gede. Dapat mobil mewah pula. Harusnya 'kan kalau haknya sudah diberikan, maka kewajiban akan dilakukan dengan lebih giat. Apalagi menurut teori, harusnya laksanakan dulu kewajiban, baru minta hak.

Seorang teman pernah bertanya, kalau KPU-nya bekerja gak bener, apakah anggota legislatif yang terpilih juga gak bener. Sulit memang mencari korelasi antara penyelenggara pemilu dengan kualitas anggota legislatif yang terpilih. Tapi yang jelas, kita bisa menilai kinerja anggota dewan legislatif yang lalu, apakah sesuai dengan apa yang dijanjikan waktu kampanye. Rupanya, teman saya belum puas dengan jawaban yang saya berikan, lalu ia berkata lagi, “Anggota dewan aja yang disumpah dengan mengatasnamakan Tuhan masih melanggar, apalagi kalau tidak disumpah.”

“Ya, mungkin mereka berpikir, Tuhan pun bisa dibohongi seperti rakyat.”
“Gimana kalau sumpahnya pakai sumpah pocong?”
Saya kaget dengan perkataannya yang terakhir.
“Maksud kamu ….?”
“Ya kalau sumpahnya dilanggar jadi pocong. Jadi nanti tidak usah jauh-jauh kalau mau bikin tayangan misteri di TV, cukup ke Senayan.”
“Wah bisa ngadain uji nyali nih…..”

Saya belum menyelesaikan kalimat keburu teman saya menukas, “Betul kita bisa mengadakan uji nyali!”
“Ya ikutan rapat sama pocong…”
“Bukan itu maksud saya.” Teman saya melanjutkan, “Siapa yang berani menjadi anggota dewan legislatif atau pejabat publik dengan syarat mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak mau korupsi, antisuap, anti-KKN, dan tidak minta gaji gede….”

Saya pusing mendengar omongan teman yang berputar-putar ini apalagi harus memikirkan apa masih ada orang seperti itu di negeri ini. (Syarief Hidayat, Anggota BATIC XV, No. Anggota 04032).*

NOTES!

  1. Nilai B+ buat artikel Bapak di atas. Belum dapat A, Pak, karena masih ada kekurangan mendasar. Nilai plusnya, Bapak sudah membuat artikel ringan (feature) yang menarik dan mengalir, meski temanya berat, soal politik. Introduksinya bikin penasaran pembaca, meski pembaca harus kecewa karena inti ceritanya --kekacauan Pemilu dan KPU, tidak dijelaskan.
  2. Lead tulisan Bapak saya edit total, hasilnya seperti di atas. Dalam naskah asli, Bapak tampaknya menggunakan dua jenis lead sekaligus, tapi tidak pas. Soal "pesta yang menyisakan cerita", itu lead analogi, yakni analogi antara pesta pernikahan dan pesta demokrasi. Soal sikap Ceu Eti dan KPU, Bapak terjebak pada lead kontradiksi --sikap KPU tidak bisa seperti Ceu Eti.
  3. Kasus Ceu Eti jelas, kekurangan makanan. Tapi dalam kasus pesta demokrasi, Bapak tidak menjelaskan, ada apa dengan Pemilu? Apa yang tidak benar dengan KPU?
  4. Coba simak lagi naskah aslinya dan bandingkan dengan naskah yang sudah diedit di atas. Tapi secara umum, setelah edit besar pada bagian awal, saya cuma nambah titik-koma dan sedikit perbaikan kata/kalimat.
  5. Anyway, what a great start! Keep Writing! (Romel).*

No comments: