Saturday, May 26, 2007

Kontroversi Pornografi dan Pornoaksi

Oleh Syarief Hidayat

APA yang menjadi topik pembicaraan hangat akhir-akhir ini? Jawabannya bisa macam-macam. Salah satunya adalah Rancangan Undang Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Pro-kontra terus mewarnai pembahasan RUU ini di DPR.

Rubrik Parodi harian Kompas edisi Minggu, 5 Februari 2005, mengutip tulisan Jim Supangkat di Majalah Tempo. Dikatakan, sudah bisa dikategorikan sebagai pornoaksi bila memperlihatkan bagian tubuh yang bisa merangsang atau timbulnya birahi. Hal ini akan menjadi sulit karena persepsi orang tentang sex atau sexy itu berbeda-beda. Bila ada perempuan di mal memakai baju ketat sampai kelihatan pusarnya, ditambah celana dengan pinggang rendah, orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, karera toh sekarang trend-nya seperti itu. Tapi mungkin orang lain melihatnya dengan melotot, sambil deg-degan dan napas memburu.

Seorang teman pernah bercerita, sewaktu liburan Pantai Kuta, Bali, ia melihat turis-turis asing yang berpakaian minim, bahkan kadang-kadang topless, dengan perasaan biasa-biasa saja. Tetapi anehnya, waktu melintas seorang perempuan berpakaian pantai yang cukup tertutup, tetapi dengan belahan paha yang cukup tinggi, dia merasakan "sensasi seksual".

Di bidang olahraga, banyak atlet yang harus buka baju, seperti renang. Apakah atlet renang akan bisa berprestasi bila harus menggunakan baju yang menutup tubuhnya dan tidak kelihatan lekuk tubuhnya seperti daster? Itu pun akan tetap jadi masalah karena bila masuk ke air maka lekuk tubuh tetap saja akan "tercetak". Bagaimana pula dengan atlet voli pantai, apa harus menggunakan daster juga? Yang paling ekstrem tentu saja binaraga, apa harus pakai baju kaus, taruhlah seperti atlet sepak bola? Sepertinya mengada-ada. Tapi ini juga harus dipikirkan, jangan sampai jadi pengecualian karena akan muncul juga pengecualian yang lain, seperti peragaan busana, pesta dansa, wilayah pantai, sebagai seni, sampai sunatan masal.

Sepertinya, isu pornografi dan pornoaksi ini mengarah kepada wanita sebagai objek. Bagaimana dengan laki-laki? Kaum hawa pun memiliki rangsangan seksual seperti halnya laki-laki. Jika umumnya laki-laki memandang bagian tubuh tertentu sebagai daya tarik seks, kaum wanita jauh lebih kompleks. Seorang teman pernah dikejar-kejar perempuan yang menganggap perut buncitnya seksi. Seandainya RUU APP disahkan, teman saya itu harus ikut program sedot lemak, seperti Titi DJ, kalau tidak mau dianggap porno.

Yang juga menjadi pertanyaan, siapa yang berhak menangkap pelanggaran UU APP. Polisi? Sekarang saja masih banyak kasus yang belum terpecahkan. Satpol PP? Bisa-bisa timbul keributan lagi seperti kasus penggusuran. Apa anggota dewan saja? Belum lagi mental aparat kita yang mudah kena suap.

Sisi positif dari RUU APP tentu ada, milsanya menghindari pelecehan seksual, tetapi esensi permasalahannya belum mengena. Jika tujuannya adalah sikap moral sebagai orang timur, kenapa sekarang banyak ATM Kondom? Gaya hidup, terutama di kota-kota besar, pun sudah berubah. Kita bisa melihatnya di berbagai media bagaimana “kehidupan malam” berlangsung di kota-kota besar di Indonesia. Belum lama ini, kita dihebohkan dengan berita dari sebuah SMU di Cianjur. Sejumlah muridnya beradegan syur waktu jam istirahat. Ini menambah daftar panjang "film biru lokal" karya anak bangsa. Apakah RUU APP cukup untuk membenahi kondisi moral bangsa?

Di TV akhir-akhir ini kita melihat operasi penangkapan penjual koran, majalah, dan VCD porno. Mungkin ini didukung dengan adanya pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi. Tetapi yang mengherankan, yang ditangkap adalah penjual yang berpenghasilan relatif kecil sekedar untuk menghidupi keluarga. Kenapa tidak pembuat VCD porno atau kenapa koran yang dianggap memuat pornografi tersebut ditutup atau setidaknya dipanggil ke DPR?

Bicara soal moral bangsa, tentunya akan bicara pula soal pemimpin dan pemerintahan negara, termasuk di dalamnya anggota dewan yang terhormat itu. Masalah good governance sampai sekarang masih dalam taraf wacana, belum ada perubahan yang signifikan. Sebelum muncul RUU APP ini, masalah yang hangat dibahas adalah impor beras. Rencana untuk menggunakan hak interpelasi akhirnya kandas oleh voting. Harga beras sampai saat ini pun masih tinggi, padahal sudah masuk musim panen ditambah dengan masuknya beras impor. Harusnya tujuan untuk menekan harga beras berhasil dicapai.

Masalah yang satu belum beres sudah bikin masalah baru. Masih segar dalam ingatan kita, tentang studi banding judi ke luar negeri yang sampai sekarang belum kelihatan hasilnya. Isu percaloan sepertinya menguap begitu saja. Bahkan, rakyat sepertinya harus siap-siap lebih mengencangkan ikat pinggangnya. Setelah kenaikan BBM dan akhirnya gas, sekarang tarif dasar listrik pun akan ikut naik. Masyarakat tentu tahu masalah yang dihadapi pemerintah, tapi tentunya berharap kebijakan dibuat sebijaksana mungkin dengan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin terjadi. Hal itu juga disertai dengan sikap pejabat yang rendah hati. Rakyat hanya ingin kebijakan yang pro rakyat. Memang sampai saat ini belum pernah ada survey yang mengukur tingkat kepuasan publik atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seyogianya pemerintah mulai memikirkan untuk melakukan survei semacam ini sebagai salah satu alat evaluasi.

Sejalan dengan niat baik Presiden RI mengenai penghematan sumber daya negara, apakah tidak masuk akal dibuatkan undang-undang efesiensi penggunaan sumber daya negara, termasuk penggunaan dana negara. Berapa banyak uang negara yang digunakan untuk studi banding judi? Apa tidak ada jalan lain yang lebih efesien ? Misalnya memanfaatkan internet.

Belum lagi kendaraan dinas seperti kendaraan dinas KPU yang masalahnya belum beres sampai sekarang. Apa tidak lebih baik kendaraan dinas untuk pejabat, seperti menteri, anggota dewan, dan KPU itu jenis minibus sehingga bisa untuk delapan orang sekaligus. Dengan demikian, bisa mengurangi kemacetan, biaya BBM, dan sepanjang perjalanan menuju kantor bisa berdiskusi masalah yang sedang dihadapi, sekaligus meningkatkan rasa persaudaraan.

Masih sering dirasakan oleh rakyat kebijakan atau undang-undang yang dibuat bertentangan dengan keinginan rakyat banyak. Apakah RUU ini mewakili aspirasi rakyat banyak atau aspirasi pihak tertentu saja. Kita lihat saja perkembangan di dewan kita juga tidak bisa serta-merta menyalahkan mereka karena mereka adalah pilihan kita juga. Seraya berharap mudah-mudahan anggota dewan itu merasa kalau mereka itu wakil rakyat, seperti kata Iwan Fals, “Wakil rakyat seharusnya merakyat…” (Penulis, Anggota BATIC XV).*

NOTES!
1. Naskah di atas diedit "alakadarnya", silakan bandingkan dengan naskah asli. Ada beberapa kalimat dan paragfar yang saya hapus karena kurang relevan dan redaksional yang "kacau".
2. Tulisan tidak fokus, bahkan jadi melebar, mungkin bisa dibilang "melantur" ke mana-mana. Mestinya fokus saja membahasa RUU APP dan kemukakan pendapat pribadi penulis.
3. Anyway, good job and keep training! (Romel).*

No comments: